”MENGGUGAT  PERAN  NEGARA, PEMERINTAH,  MASYARAKAT  DAN  ORANG TUA  DALAM   MENJAGA  DAN  MELINDUNGI ANAK”

Meningkatnya berbagai bentuk pengabaian dan pelanggaran hak anak di Indonesia yang terjadi sepanjang tahun 2011, menunjukkan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua telah gagal menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam memberikan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak anak di Indonesia.

Kegagalan itu dapat dilihat selain dari meningkatnya jumlah pengaduan masyarakat terhadap berbagai bentuk pelanggaran hak anak, tetapi juga bentuk-bentuk pelanggarannya pun anak telah menunjukkan tindakan sadisme. Komisi Nasional Perlindungan Anak (KomNas Anak) sebagai lembaga independen yang dibentuk oleh masyarakat dan diberi tugas mengupayakan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak-hak anak Indonesia, sadar betul mempunyai banyak keterbatasan dalam menghadapi berbagai peristiwa dan bentuk pelanggaran terhadap hak anak. Selain menghadapi bentuk-bentuk pelanggaran yang telah mengarah pada bentuk tidak berpri-kemanusiaan atau sadisme oleh para pelaku. Di sisi lain  KomNas Perlindungan Anak juga dituntut oleh masyarakat untuk bertindak cepat dan segera dalam menyelesaikan serta memberikan jalan keluar terhadap pengaduan masyarakat tersebut.

Merujuk data layanan pengaduan masyarakat melalui  Hotline Service dalam bentuk pengaduan langsung, telephone, surat menyurat maupun elektronik, sepanjang tahun 2011 KomNas Anak  menerima 2.386 kasus. Sama artinya bahwa setiap bulannya KomNas Anak menerima pengaduaan masyarakat kurang lebih 200 (dua ratus) pengaduan pelanggaran terhadap hak anak. Angka ini meningkat 98% jika dibanding dengan pengaduan masyarakat yang di terima Komisi Nasional Perlindungan Anak pada tahun 2010 yakni berjumlah 1.234 pengaduan.  Dalam laporan pengaduan tersebut,  pelanggaran terhadap hak anak  ini tidak semata-mata pada tingkat kuantitas jumlah saja yang meningkat, namun terlihat semakin komplek dan beragamnya modus pelanggaran hak anak itu sendiri. Pengaduan hak asuh (khususnya perebutan anak pasca perceraian) misalnya, mendominasi pengaduan sepanjang tahun 2011 ini.

Dominasi bentuk pengaduan tersebut diperkuat oleh data yang dihimpun Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI bahwa   di tahun 2010  lembaga ini mencatat 285.184 kasus perceraian. Angka ini tertinggi sejak 5 tahun terakhir. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa 10.019 kasus perceraian dipicu cemburu, 67.891 dipicu masalah ekonomi, 91.041 kasus dipicu ketidakharmonisan dalam keluarga, dan 334 kasus dipicu masalah politik. 59 persen gugatan cerai dilakukan oleh perempuan dan 48 persen perceraian di picu oleh kasus perselingkuhan, dan selebihnya di picu oleh Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dampak dari perceraian ini, ratusan ribu anak menjadi korban terpisah dari salah satu orangtuanya.

  1. HAK PENDUDUK & KEBEBASAN SIPIL

Sebagaimana tercantum dalam ketentuan pasal 28 UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa mendapatkan akta kelahiran adalah merupakan bentuk pengakuan pertama negara terhadap keberadaan seorang anak. Mendapatkan hak anak atas akta kelahiran disebut juga sebagai hak Kependudukan dan kebebasan sipil. Namun dalam kenyataannya masih ditemukan kurang lebih 50 juta anak yang tersebar di tanah air, tidak memiliki akta kelahiran, ini sama artinya secara hukum jutaan anak-anak saat ini tidak diakui sebagai warga negara Indonesia dan bahkan dengan sendirinya tidak berhak mendapat layanan dari negara. Padahal sesungguhnya mendapatkan identitas, nama dan kewarganegaraan dalam bentuk legal statusnya akta lahir yang dikeluarkan negara juga merupakan hak konstitusional anak.

Dalam kenyataannya, Badan Pusat Statistik 2010 mencatat jumlah anak usia 0-18 tahun di Indonesia sebanyak 79.729.824 orang. Dari jumlah tersebut baru 45 persen bayi di bawah lima tahun (balita) di Indonesia yang dinyatakan  memiliki akta kelahiran.  Itu artinya dari jumlah anak tersebut diatas 55 persen anak di Indonesia belum mendapat pengakuan dan pemenuhan hak sipilnya. Fakta menunjukkan, bagi anak yang tidak memiliki akta lahir, keberadaannya sangat rentan terhadap tindak kekerasan,  eksploitasi, serta rentan terhadap praktek-praktek manipulasi terhadap asal- usul anak. Oleh sebab itu, pencatatan kelahiran sangatlah penting dimiliki bagi anak, sebagai bagian integral dari Hak penduduk dan kebebasan sipil.

Dampak dari lemahnya pelayanan pemerintah  dalam pemberian pengakuan atas hak penduduk dan kebebasan sipil, ada fakta yang cukup mengagetkan seputar kehidupan anak di perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Sebagian besar pelajar SMA yang berada di  tiga kecamatan, yang terletak di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, yang berbatasan dengan Malaysia, justru mengantongi akta kelahiran yang dikeluarkan pemerintah Malaysia. Sementara itu lebih kurang 32.000 anak yang dilahirkan dari pasangan Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di perkebunan sawit  di Sabah dan Sarawak tidak mempunyai akta lahir, akibatnya puluhan ribu anak  saat ini tidak bisa mendapatkan akses pendidikan.

Menyikapi permasalahan ini, Komisi Nasional menyimpulkan bahwa dengan banyaknya anak-anak Indonesia yang tidak mendapatkan akta lahir, sama artinya bahwa negara telah melanggar hak konstitusi anak untuk mendapatkan pengakuan negara atas hak penduduk dan kebebasan sipil.

2. HAK PENDIDIKAN

a)       Akses Pendidikan Terbatas

Bentuk pelanggaran Hak Anak lainnya adalah Hak anak atas pendidikan, KomNas Perlindungan Anak mencatat sekitar 2,5 juta jiwa anak dari 26,3 juta anak usia wajib belajar di tahun 2010 yakni  usia 7-15 tahun, belum dapat menikmati pendidikan dasar sembilan tahun. Sementara itu, 1,87 juta jiwa anak dari 12,89 juta anak usia 13-15 tahun tidak mendapatkan hak atas pendidikan. Berbagai faktor penyebab anak tidak dapat bersekolah, antara lain sulitnya anak untuk mendapatkan akses sekolah, secara khusus anak-anak yang berada di dalam wilayah perbatasan maupun di daerah Komunitas adat terpencil serta  kurangnya kesadaran orang tua tentang arti pendidikan bagi anak dan faktor ekonomi. Ini menunjukkan bahwa program wajib belajar pendidikan dasar bagi anak-anak belum menunjukkan keberhasilan. Amanah Undang-undang tentang kewajiban negara agar melakukan alokasi anggaran pendidikan 20% (persen) baik di tingkat pusat (APBN), dan daerah (APBD) rupanya belum memberikan dampak siginifikan bagi upaya pemenuhan hak pendidikan bagi anak.

b)      Kekerasan di Lingkungan Sekolah

Sepanjang tahun 2011 ini, kasus tawuran cukup banyak mendapat sorotan dan menjadi topik hangat ditengah-tengah masyrakat. Maraknya peristiwa kekerasan antar sesama anak sekolah merupakan fenomena sosial yang berkembang ditengah-tengah masyarakat remaja. Sementara itu, sepanjang tahun 2011, Komisi Nasional Perlindungan anak mencatat ditemukan 339 kasus tawuran. Kasus tawuran antar pelajar di Jabodetabek meningkat jika dibanding 128 kasus yang terjadi pada ahun 2010. KomNas Anak mencatat, dari 339 kasus kekerasan antar sesama pelajar SMP dan SMA ditemukan  82 diantaranya meninggal dunia, selebihnya luka berat dan ringan.

Karena anak merupakan peniru yang ulung yang selalu meniru apa yang dilihat dari lingkungan rumah, sekolah, lingkungan sosial dan apa yang dilihat olehnya. Untuk menekan budaya kekerasan yang sudah menghinggap di generasi penerus bangsa, perlu adanya sosialisasi bahkan kampanye anti kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah, lingkungan sekolah dan organisasi masyarakat.

Dari hasil analisis mengapa anak melakukan tawuran antar sesama ditemukan bahwa anak sebagai pelajar  memiliki karakteristik seperti kurang sosialisasi dengan lingkungan sekitar, tidak bertanggung jawab secara sosial. Umumnya mereka terganggu secara emosional, dan sangat reaktif, tidak berfungsinya hati nurani , menyukai  tantangan dan bahaya.  menceburkan diri dalam satu kegiatan tanpa menyadari resikonya, ulit berdisiplin dan megontrol diri, liar dan cenderung jahat. Disamping itu, kurang pemahaman terhadap nilai-nilai spriritual, prilaku baik, demokrasi, menghargai pluralisme serta  dan toleransi, perbedaan pendapat dan Hak asasi manusia.

3. HAK KESEHATAN

a)     HIV/AIDS

Sementara itu, menurut laporan Depkes, hingga Juni 2011 tercatat 821 penderita AIDS berusia 15 – 19 tahun, bahkan 212 penderita berusia 5 – 14 tahun. Sedangkan untuk anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, Badan Narkotika Nasional (2006) menyebutkan bahwa 80 % dari sekitar 3,2 pengguna berasal dari kelompok usia muda (remaja/pemuda).

Penggunaaan jarum suntik secara bergantian  dalam mengkonsumsi narkotika adalah praktek yang lazim ditemukan di dalam kalangan remaja. Ini membuat mereka bersiko tertular virus mematikan HIV/AIDS. Pada September 2009 lalu, Kementerian Sosial Republik Indonesia merilis kabar bahwa ada 464 anak Indonesia yang berusia di bawah 15 tahun  mengidap HIV/AIDS. Selain dari jarum suntik, pemakai narkoba anak itu mewarisi HIV dari ibu mereka. Adalah tanggung jawab negara menjamin anak-anak ini mendapat pelayanan kesehatan yang menjadi hak mereka.

b)     Anak Korban Gizi Buruk

Fenomena lainnya adalah kasus anak kurang gizi (marasmus kwasiokor). Menurut data yang dihimpun KomNas Perlindungan Anak dari laporan 33 Lembaga Perlindungan Anak (LPA) yang tersebar di 33 kota propinsi diperkirakan ada 10 juta anak-anak usia balita  menderita kurang gizi, 2 juta di antaranya menderita gizi buruk. Kasus ini dapat ditemui dengan sebaran di pulau Sumatra, NTT, NTB, dan Sulawesi. Menurut data Komnas PA, di Sumatra Barat terdapat 23.000 dari total 300.000 anak usia balita terancam menderita gizi buruk dan itu juga berlangsung di beberapa daerah lainnya.

4. PERLINDUNGAN KHUSUS

a)          Kekerasan

Dalam klaster anak membutuhkan perlindungan khusus, sepanjang tahun 2011, KomNas Anak telah mencatat 2.508 kasus kekerasan terhadap anak. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2010 yakni 2.413 kasus.  1.020 atau setara 62,7 persen dari jumlah angka tersebut adalah kasus kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk sodomi, perkosaan, pencabulan serta incest, dan selebihnya adalah kekerasan fisik dan psikis.

Tingginya angka pengaduan kekerasan terhadap anak tersebut, menunjukkan tanda bahwa lingkungan anak yang seharusnya menjadi benteng perlindungan anak, saat ini justru menjadi pelaku utamanya. Keluarga atau orang tua yang oleh UU Perlindungan Anak adalah salah satu pilar penanggung jawab perlindungan anak ternyata telah gagal bahkan menjadi pihak yang menakutkan bagi anak.

Ironisnya, kasus-kasus kekerasan terhadap anak tersebut terjadi justru di lingkungan terdekat anak, yakni rumah tangga, sekolah, lembaga pendidikan dan lingkungan sosial anak. Sedangkan pelakunya adalah orang yang seharusnya melindungi anak, seperti orang tua, paman, guru, bapak/ibu angkat, maupun ayah/ibu tiri.

b) Anak Berhadapan Dengan Hukum

Demikian juga dengan angka kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Sepanjang tahun 2011 KomNas Anak menerima 1.851 pengaduan anak yang berhadapan dengan hukum (anak sebagai pelaku) yang diajukan ke pengadilan. Angka ini meningkat dibanding pengaduan pada tahun 2010, yakni  730 kasus.  Hampir 52 persen dari angka tersebut adalah kasus pencurian diikuti dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, perjudian, serta penganiayaan dan hampir 89,8 persen kasus anak yang berhadapan dengan hukum berakhir pada pemidanaan atau diputus pidana.

Meningkatknya data prosentase pemidanaan ini dibuktikan dan diperkuat  oleh  data Anak  yang tersebar di 16 Lapas di Indonesia (data Kementerian  Hukum dan HAM 2010) ditemukan 6.505 anak yang berhadapan dengan hukum diajukan ke pengadilan, dan 4.622  anak diantaranya saat ini mendekam dipenjara. Jumlah ini mungkin jauh lebih besar karena angka ini hanya bersumber dari laporan 29 Bapas, sementara di Indonesia terdapat 62  Bapas. Dari laporan tersebut, hanya kurang lebih 10 persen anak yang berhadapan dengan hukum dikenakan hukuman tindakan yakni dikembalikan kepada negara (Kementerian sosial) atau orangtua.

Anak-anak yang terpaksa berhadapan dengan hukum tidak saja terjadi di wilayah hukum Indonesia. Data yang dihimpun KomNas Perlindungan Anak menyebutkan bahwa di Australia ditemukan ratusan anak-anak yang umumnya berasal dari Nusa Tenggara Timur terpaksa mendekam di penjara karena disangkakan melakukan tindak pidana penyeludupan orang (people sumugling) ke Australia. Menurut laporan, ratusan anak-anak tersebut saat ini sedang menghadapi peradilan dan umumnya mereka di tempatkan di penjara bersama orang-orang dewasa. Melalui kerja advokasi KomNas Perlindungan Anak dan Kedutaan Besar  RI di Australia, pada bulan Juli 2011, berhasil membebaskan 3 orang anak setelah berhasil menunjukkan akta lahir bukti hukum bahwa ketiga anak tersebut masih di bawah usia 18 tahun.

Sementara itu, sistem hukum dan penerapannya belum mampu memberikan jaminan terhadap perubahan perilaku anak yang terlanjur menjadi terpidana. Anak-anak yang mendekam di penjara justru seringkali  menyerap dan belajar berbagai pengalaman kriminalitas yang lebih canggih lagi dari senioritasnya selama di dalam penjara. Pengalaman buruk selama mengikuti proses hukum dan pemidanaan juga mempengaruhi tumbuh kembang anak menuju kedewasaan. Keadaan ini menunjukkan bahwa negara khususnya penegak hukum gagal melaksanakan amanat UU Pengadilan Anak, UU Perlindungan Anak maupun instrumen internasional yakni Konvensi PBB tentang Hak Anak.

Untuk memberikan Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum sesungguhnya sudah ada. 15 Desember 2009 yang lalu, atas inisiasi Pemerintah yakni Kementerian Sosial RI telah dibuat Kesepakatan Bersama  5 Menteri dan Kepolisian Republik Indonesia. Namun sayangnya, kesepakatan bersama ini belum diikuti dengan niat baik masing-masing pemerintah daerah untuk menghadirkan sarana dan prasarana seperti Rumah Sosial Perlindungan anak yang memadai di berbagai Kota/Kabupaten dan Provinsi, yang dapat digunakan sebagai alternatif tempat penahanan bagi anak yang berhadapan dengan hukum.

Kebijakan  pemerintah dalam menjawab pelanggaran hak anak, khususnya bagi anak yang berhadapan dengan hukum seringkali melakukan mengabaikan hak-hak dasar anak yang telah dijamin oleh undang-undang, seperti hak  atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak mendapatkan perlindungan diri, maupun hak memperoleh informasi berkaitan dengan perkembangan kasusnya. Padahal berdasarkan Ratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak, Indonesia sebagai negara pihak (state Party), berkewajiban bahkan terikat secara yuridis dan politis untuk melakukan langkah-langkah strategis guna menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak-hak anak tanpa diskriminasi di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia.

c)           Narkoba

Di bidang Perlindungan Khusus, yakni ancaman meluasnya penggunaan narkotika dan zat-zat adiktif lainnya seperti berbagai jenis produk tembakau seperti rokok, KomNas Anak menilai bahwa negara  gagal memberikan jaminan perlindungan dari ancaman kesehatan dasar. Ancaman kesehatan dasar bagi anak dapat dilihat dengan meluasnya penggunaan narkotika dan zat-zat adiktif lainnya telah menempatkan anak sebagai sasarannya. Ancaman ini semakin kronis karena setiap tahun angkanya jumlah anak yang menjadi korban narkoba terus bertambah.

Pada 2006, pasien narkoba remaja di Rumah Sakit yang khusus menangani kasus ketergantungan narkoba hanya 2000-an orang. 5 tahun kemudian, yakni pada 2011, jumlahnya sudah naik empat kali lipat. Parahnya, rata-rata pecandu narkoba berusia di bawah 19 tahun.  Tak heran jika 2006, Badan Narkotik Nasional (BNN) mengumumkan bahwa 80% dari 3,2 juta pecandu narkoba adalah remaja dan pemuda. Sementara itu, angka siswa sekolah yang terjerat narkoba juga terus meningkat dan dalam situasi memprihatinkan. Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat sebanyak 110.870 pelajar SMP dan SMA menjadi pengguna Narkotika. BNN juga melaporkan 12.848 anak siswa SD di Indonesia terindentifikasi mengkonsumsi Narkoba.

Penggunaan narkoba bukanlah persoalan baru di Indonesia. Meskipun demikian, akhir-akhir ini besaran masalahnya sangat mengkhawatirkan. Dari data rekam medis RSKO  (satu-satunya RS spesialis untuk ketergantungan Narkoba) selama tahun 2006-2009. -– menunjukan peningkatan yang sangat drastis.  Dari jumlah pasien (rawat inap jalan) sebesar 2.090 pada tahun 2009 meningkat menjadi  8017 pasien pada Oktober 2011.

 d)              Rokok

Selain masalah Narkoba dan HIV/AIDS, di tahun 2010 ini kita dikejutkan dengan fenomena balita perokok (Baby Smoker). Indonesia merupakan  negara ketiga yang paling besar mengkonsumsi rokok setelah Cina. Fenomena yang terjadi adalah tidak hanya orang dewasa yang cukup umur saja yang merokok, melainkan anak balita yang masih berumur di bawah lima tahun pun sudah merokok. Di tahun 2010, Komnas Perlindungan Anak memantau ada 5 kasus balita yang kecanduan rokok, dari 5 batang per hari sampai  40 batang per hari. Dengan rentang usia mulai merokok 18 bulan  sampai  usia 4 tahun dan lama masa merokok  sekitar 1,5 tahun sampai 2 tahun. Komnas Perlindungan Anak prihatin dan khawatir karena jumlah anak yang merokok mengalami lonjakan yang signifikan. Data Susenas menunjukan Prevalensi perokok yang mulai merokok pada usia 5 – 9 tahun meningkat lebih dari 4 kali lipat sepanjang tahun 2001 – 2004, sedangkan remaja usia 15 – 19 tahun meningkat sebanyak 144% selama tahun 1995 hingga 2004.

Secara rinci Susenas 2001, 2004 dan Riskesdas 2007, 2010 memberikan gambaran tren perokok pemula remaja usia 10-14 naik hampir dua kali lipat dalam waktu kurang dari 10 tahun. sementara kelompok usia 15-19 tahun naik dari 58,9% tahun 2001 menjadi 63,7% pada tahun 2004.

KomNas Anak mencatat  bahwa meningkatnya prevalensi merokok anak-anak di Indonesia, di pengaruhi oleh beberapa faktor yakni anak-anak sangat mudah mendapat akses terhadap rokok, sebab rokok mudah dibeli dimana saja karena selain harganya murah juga rokok dapat dibeli dengan bentuk batangan. Disamping itu juga, bahwa tidak bisa terbantahkan lagi bahwa  masifnya iklan, promosi dan sponsor yang dilakukan oleh industri rokok, adalah merupakan bagian dari rangkaian sistematis dalam strategi pemasaran industri rokok yang bertujuan untuk menjerat anak menjadi perokok pemula. Faktor lainnya yang digunakan menjerat anak untuk menjadi perokok yakni rokok di promosikan sebagai  hal yang wajar secara sosial. Akibatnya anak2 yang merokok juga di angggap wajar.

Sementara itu, ketentuan Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention on the Right of the Child)  maupun UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002, khususnya Pasal 59 memastikan bahwa pemerintah berkewajiban untuk memberikan perlindungan khusus(Children Need Special Protection) bagi  anak-anak yang menjadi korban zat adiktif. Apalagi Mahkamah Konstitusi telah memberi keputusan hukum tetap pada pasal 113 ayat (2), 114 dan 199, UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa ‘tembakau dengan segala jenis produknya, termasuk rokok merupakan zat adiktif’. Oleh karena itu, sesuatu yang dinyatakan zat adiktif, dilarang untuk diiklankan dan dipromosikan seperti halnya miras dan psikotropika dan menerapkan peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok demi menjamin perlindungan kepada anak dari penyalagunaan zat adiktif. Karena itu, sudah jelas kedua Undang-undang tersebut memberikan mandat yang kuat bagi pemerintah untuk SEGERA memastikan anak-anak mendapat perlindungan khusus yang sama urgensinya dengan perlindungan anak dari tindak kekerasan,  trafiking, situasi darurat, penculikan,eksploitasi dan lainnya.

e) Pembuangan, Penculikan, Aborsi dan Penelantaran

  • Pembuangan Bayi

Bentuk pelanggaran hak anak lainnya yang membutuhkan pelindungan khusus adalah anak korban pembuangan bayi, penculikan dan aborsi. Sepanjang tahun 2011,  KomNas Perlindungan Anak menghimpun data melalui pengaduan lanngsung masyarakat maupun laporan media masa ditemukan 186 bayi sengaja dibuang oleh kedua orangtuanya. Angka ini meningkat dibanding tahun 2010 yakni 104 bayi.  68 persen bayi yang ditemukan dalam kondisi meninggal dunia, selebihnya dapat diselamatkan  oleh mayarakat dan dititipkan ke panti-panti sosial anak milik pemerintah maupun swasta. Umumnya, bayi-bayi ini ditemukan masyarakat di bak sampah, halaman atau teras rumah warga masyarakat, di sungai, got dan pembuangan air selokan, rumah ibadah, terminal bis serta di stasiun dan di terminal kereta api.

  • Penculikan Bayi

Tahun 2011 ini, KomNas Anak menerima Pengaduan  120 kasus anak hilang. 35 diantaranya hilang dari rumah bersalin seperti Rumah Sakit, Klinik maupun Puskesmas. Jumlah ini meningkat  jika dibanding tahun 2010 yakni 111, 26 anak diantaranya hilang di tempat yang sama, selebihnya hilang dari lingkungan rumah, sekolah dan tempat-tempat bermain anak. Pelaku penculikan dan penghilangan paksa  umumnya adalah orang terdekat, dan paling tidak mengenal korban atau keluarganya.

Modus operandi kasus anak hilang dari tempat-tempat bersalin yang dicatat KomNas perlindungan Anak, umumnya pelaku mendekati korban dengan cara mengaku sebagai tenaga medis rumah bersalin, sehingga keluarga korban tidak menaruh curiga. Sebab para pelaku umumnya paham mengenai seluk beluk keperluan medis dalam proses persalinan. Seperti memandikan bayi, immunisasi dan sebagainya.  Sindikat penculikan Bayi yang berbasis di rumah bersalin, cara kerja mereka patut diduga melibatkan dan memanfaatkan  tenaga kesehatan, seperti suster, Bidan, Koas,  bahkan melibatkan petugas kebersihan dan tenaga-tenaga medis magang sebagai eksekutor dan paling tidak bertindak sebagai informan. Cara kerjanya para pelaku penculikan bayi tersebut adalah cukup rapih dalam meyakinkan korban, dan dilakukan umumnya secara cepat dan tepat. Seringkali para pelaku memanfaatkan kelengahan dan kesibukan para petugas kesehatan rumah bersalin lainnya, maupun memanfaatkan lemahnya sistem keamanan rumah bersalin.

Sasaran para pelaku penculikan bayi berbasis rumah bersalin adalah bayi-bayi yang lahir dibawah 5 hari. Sasaran ini umumnya untuk mempermudah pengalihan identitas dalam bentuk pembuatan akta kenal lahir, dan tidak jarang pula melibatkan para tenaga medis untuk menerbitkan surat kenal lahir.

Dari pengalaman empirik Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, bahwa tujuan penculikan dan penjualan  anak-anak berusia di bawah 1 tahun, adalah untuk tujuan adopsi ilegal baik untuk permintaan dalam negeri dan inter-country. Dari kasus-kasus penculikan bayi yang berhasil dibongkar oleh pihak Kepolisian ditemukan fakta bahwa bayi-bayi yang diadopsi secara illegal, tersebut umumnya para adopter memberikan imbalan kepada para pelaku  dengan kisaran  harga 5 -10 juta sebagai pengganti biaya persalinan dan perawatan. Selain itu, ada juga data-data menunjukkan anak diculik untuk tujuan eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi  bagi anak-anak yang berusia dibawah 12 tahun. Dipekerjakan di jalanan maupun ditempat-tempat prostitusi.

  • Aborsi

Dalam kasus perampasan hak hidup, data yang dihimpun KomNas Perlindungan  Anak menemukan  dalam kurun waktu tiga tahun (2008-2010) kasus aborsi terus meningkat. Tahun 2008 ditemukan 2 juta jiwa anak korban Aborsi, tahun berikutnya (2009) naik 300.000 menjadi 2,3 juta janin yang dibuang paksa. Sementara itu Pada tahun 2010 naik dari 200.000 menjadi 2,5 juta jiwa. 62,6 % pelaku diantaranya adalah anak berusia dibawah 18 tahun. Metoda aborsi 37 persen dilakukan melalui kuret, 25 persen melalui oral dan pijatan, 13 persen melalui cara suntik, 8 persen memasukkan benda asing ke dalam rahim dan selebihnya melalui jamu dan akupuntur.

  •  Penelantaran Anak

Anak-anak korban penelantaran juga angkanya terus meningkat. Dirjen Yanresos Depsos RI  tahun 2009, melaporkan ditemukan 17.694.000 anak balita terlantar dan hampir terlantar. Sementara itu anak yang baru  mendapatkan pelayanan sosial baru mencapai 1,186.941 jiwa atau baru 6,71 persen saja,  sementara 5.4 juta anak-anak dalam kondisi terlantar dan membutuhkan perlindungan dari negara.

f)   Perdagangan Anak

Anak  yang  membutuhkan perlindungan khusus dari ancaman perdagangan untuk tujuan ekploitasi seksual komersial juga turut meningkat. Tahun 2011 KomNas Perlindungan Anak menerima pengaduan 480 anak korban ESKA, jumlah ini meningkat jika dibandingkan pada jumlah pengaduan tahun 2010 yakni 412 kasus. Peningkatan angka ini cukup memprihatinkan. Modusnya, selain tipu muslihat, janji-janji untuk dipekerjakan, tetapi juga berkembang modus baru yakni penculikan dengan pembiusan yang dilakukan bagi anak-anak remaja pada saat pergi dan pulang sekolah maupun melalui kecanggihan teknologi seperti internet dan situs-situs lainnya.

Data yang diterima KomNas Perlindungan Anak dari hasil investigasi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Pontianak di Malaysia tahun 2010, diperbatasan anatara Brunei Darusalam dan Malaysia, ditemukan ratusan anak-anak remaja Indonesia terjebak menjadi korban eksploitasi seksual  terselubung. Anak-anak remaja Indonesia yang direkrut oleh sindikat terorganisir perdagangan anak untuk dipekerjakan untuk melayani para penikmat seksual sampai saat ini belum juga bisa diselamatkan, walaupun masalah ini juga sudah dilaporkan kepada pemerintah daerah.

g)  Anak Pecandu Pornografi

Sementara itu kasus pornografi anak juga masih terjadi dalam kiehidupan masyarakat. Sepanjang tahun 2011, KomNas menerima  22 kasus pengaduan tentang pornografi yang dilakukan anak-anak usia SMP dan SMA. Sementara itu, menurut data Yayasan Buah Hati dilaporkan bahwa 83,7 persen anak SD kelas IV dab Kelas V yang di teliti telah kecanduan pornografi.

h) Anak  Korban Bunuh Diri

Kasus selanjutnya mengenai persoalan anak bunuh diri. Komisi Nasional Perlindungan Anak pada bulan Januari-Juni tahun 2011 ini, melalui Pusat Data dan Informasi mendapat laporan sebanyak 6 anak yang melakukan bunuh. Penyebab anak melakukan bunuh diri adalah sebanyak 1 anak mempunyai masalah di sekolah dan tercatat 3 anak disebabkan karena putus cinta. Sedangkan pada karakteristik status ekonomi, anak yang melakukan bunuh diri merupakan anak dari keluarga dengan status ekonomi bawah. Dari 6 anak yang melakukan bunuh diri, hanya 2 anak yang dapat diselamatkan nyawanya, sisanya 4 anak telah meninggal dunia.

RESPON SISTEMIK dan REKOMENDASI AKSI 2011

Dari analis data pengaduan yang dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak, disimpulkan bahwa akar munculnya pelanggaran hak anak ini dapat  dilihat dari power relation yang timpang. Misalnya relasi antara anak dengan pihak lain yang tidak seimbang, seperti anak dengan orang tua, anak dengan guru, anak dengan anak sendiri, ataupun kebijakan negara yang belum sepenuhnya berpihak pada anak secara holistik.

Disamping itu, mengingat  respon pemerintah yang masih terbatas, maka peran dan kepedulian masyarakat, dunia usaha dan perguruan tinggi dalam menyediakan layanan kesejahteraan sosial anak menjadi sangat penting untuk bersinergi dengan pemerintah. Untuk itu diperlukan pengembangan program yang terencana, terpadu, dan berkerlanjutan.

Berdasarkan ketentuan UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002, dimana negara sebagai pembuat regulasi dan pemerintah sebagai implementator dalam menjalankan regulasi dan program belum mampu melaksanakan tugasnya seperti yang diamanatkan konstitusi maupun perjanjian intrumen-instrumen internasional menyangkut kebijakan keberpihakan terhadap anak. Sementara masyarakat, bahkan keluarga dan orang tua sebagai pihak terdekat bagi anak justru belum mampu bertanggung jawab terhadap pemenuhan dan perlindungan terhadap hak anak. Ini sama artinya bahwa negara, pemerintah, masyarakat dan orang tua sebagai  pilar  yang diberikan tanggung jawab dalam pemenuhan dan  perlindungan anak TELAH GAGAL melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana amanat UU Perlindungan Anak dan Konvensi PBB tentang Hak Anak.

Sesungguhnya masyarakat dan pemerintah dari berbagai tingkatan telah melakukan berbagai layanan dan program untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Namun faktanya masih sangat banyak anak belum mendapatkan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak-haknya yang memadai. Pemerintah menyadari bahwa hal ini disebabkan oleh karena keterbatasan sumber daya. Keterbatasan ini disertai pula dengan belum adanya sistem management perlindungan anak yang berlaku di Indonesia. Sehingga program layanan pemenuhan dan perlindungan hak anak berjalan sporadis dan reaksioner. Muncul kasus pelanggarann hak anak di tengah-tengah kehidupan anak, semua pihak meresponnya secara membabi buta.

Disamping itu, belum adanya pelayanan keterpaduan terhadap perencanaan dan pengelolaan sumber daya serta pendekatan pelayanan yang masih berorientasi pada proyek, berakibat meningkatnya jumlah masalah sosial anak  di tengah-tengah kehidupan masyarakat  tidak dapat diimbangi dengan upaya pencegahan dan respon dari berbagai pihak yang berpihak pada anak.

Karena itulah, melalui Catatan Akhir Tahun 2011 ini kami menghargai serta  menjujung tinggi kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap keberadaan dan kerja-kerja Komisi Nasional  Perlindungan Anak, pada tahun mendatang akan memfokuskan program advokasi untuk menguatkan peran negara, pemerintah, masyarakat dan orang tua agar mampu menjalankan amanat konstitusi dalam pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap keberadaan anak, khususnya bagi anak-anak dalam klaster yang membutuhkan perlindungan khusus (children in need special protection) .

Demikian catatan pemenuhan dan perlindungan anak di Indonesia selama kurun waktu selama 12 bulan ini kami sampaikan kepada publik, sebagai bentuk pertanggung jawaban atas kerja-kerja organisasi sepanjang tahun 2011. Dan tidak lupa kami seluruh Dewan Komisioner, Dewan Konsultatif serta jajaran Staff Komisi Nasional Perlindungan Anak melalui Laporan Catatan Akhir Tahun 2011 mengucapkan terima kasih atas dukungan, kepercayaan masyarakat dan semua pihak yang telah berkenan menjadi stakeholder terhadap kerja KomNas Anak dalam membela kepentingan terbaik bagi anak selama ini dan di masa yang akan datang.

Jakarta, 20 Desember 2011

Dewan Komisioner

Komisi Nasional Perlindungan Anak

Arist Merdeka Sirait                     Samsul Ridwan

                                                                                                             Ketua Umum                              Sekretaris Jenderal